2.1 Sesar Palu-Koro
2.1.1 Pengertian Sesar dan Terbentuknya
Sesar merupakan patahan fraktur planar atau diskontinuitas dalam volume batuan, di mana telah ada perpindahan yang signifikan sebagai akibat dari gerakan massa batuan. Bentuk sesar ada 3 macam, yaitu sesar normal (turun), sesar naik dan sesar geser. Dua bentuk yang pertama biasa disebut sesar vertikal(dip slip), sedang bentuk yang ketiga biasa disebut sesar mendatar(Strike Slip). Ada 2 jenis sesar geser, yaitu dextral(menganan) dan sinistral(mengiri).
Sesar merupakan hasil dari aksi gaya tektonik, dengan yang terbesar membentuk batas-batas antara lempeng, seperti zona subduksi atau pergeseran sesar. Energi yang dilepaskan menyebabkan gerakan yang cepat pada sesar aktif yang merupakan penyebab utama gempa bumi. Menurut ilmu geofisika, sesar terjadi ketika batuan mengalami tekanan dan suhu yang rendah sehingga sifatnya menjadi rapuh.
Bidang sesar adalah bidang yang mewakili permukaan fraktur pada patahan. Sebuah jejak sesar (fault trace) atau garis sesar ( fault line) adalah perpotongan dari bidang sesar dengan permukaan tanah. Sebuah jejak sesar biasa diplot pada peta geologi untuk mewakili suatu patahan.
Karena sesar biasanya tidak berdiri tunggal atau sendiri, ahli geologi menggunakan istilah zona sesar ketika mengacu pada zona deformasi yang kompleks terkait dengan bidang sesar.
Dua buah sesar bersandingan non-vertikal biasa disebut hanging wall dan footwall. Berdasarkan definisi, hanging wall terjadi di atas bidang sesar dan footwall terjadi di bawah bidang sesar. Terminologi ini datang dari dunia pertambangan, ketika mereka sedang bekerja di tubuh mineral berbentuk tabular, penambang berdiri di atas footwall di bawah kakinya dan dengan hanging wall berada di atas mereka.
Selanjutnya, proses terbentuknya sesar adalah akibat gesekan dan kekakuan batuan, batuan normalnya tidak bisa meluncur atau mengalir melewati satu sama lain dengan mudah dan kadang-kadang semua gerakan berhenti. Ketika ini terjadi, stres menumpuk di bebatuan dan saat mencapai tingkat yang melebihi ambang ketegangan, energi potensial akumulasi didisipasikan oleh pelepasan ketegangan, yang difokuskan ke sebuah bidang sepanjang dimana gerakan relatif tersebut ditampung.
Tegangan itu terjadi secara akumulatif atau instan, tergantung pada reologi dari batuan, kerak bawah dan mantel yang elastis dan mengakumulasi deformasi secara bertahap melalui gaya geser, sedangkan kerak atas yang rapuh akan bereaksi dengan fraktur atau lepasan tegangan seketika dan akan menyebabkan gerakan sepanjang sesar.
Sebuah sesar dalam batuan yang elastis juga dapat lepas seketika ketika laju regangan terlalu besar. Energi yang dilepaskan oleh lepasan tegangan, seketika akan menyebabkan gempa bumi.
2.1.2 Pengenalan Sesar Palu-Koro
Gambar 1 Zona sesar dan subduksi di Sulawesi
Sesar Palu-Koro adalah sesar terbesar di Sulawesi. Karena ukurannya yang besar, maka seharusnya disebut Sistem atau Zona Sesar Palu-Koro. Tapi, walaupun begitu orang-orang hanya menyebutnya Sesar Palu-Koro saja. Sesar ini memiliki lajur hampir ke arah utara-selatan, memanjang mulai dari sekitar batas perairan Laut Sulawesi dengan Selat Makassar sampai pantai utara Teluk Bone. Panjangnya sekitar 500 km. Di darat, sesar ini mempunyai panjang sekitar 250 km, mulai dari Teluk Palu sampai pantai utara Teluk Bone.
Pada awalnya sesar ini dinamakan Sesar Fossa Sarassina kemudian dinamakan sesar Palu-Koro. Perubahan nama ini dipengaruhi letak geografis lajur sesar ini yang memotong Kota Palu (Lembah Palu) dan Sungai Lariang pada segmen Sungai Koro (Lembah Koro). Para peneliti geologi dan geofisika berhasil mengidentifikasi bahwa sesar tersebut adalah sesar sinistral (pergeseran mengiri) yang aktif dengan kecepatan sekitar 14 - 17 mm/tahun. Pada Segmen Palu - Kulawi, sesar ini berciri sesar normal dan membentuk graben yang menyebabkan Kota Palu sampai Kulawi diapit oleh 2 sesar normal. Sering pula segmen ini disebut "Sistem Sesar Palu-Koro". Ciri-ciri keberadaan sistem sesar ini adalah banyaknya dijumpai mata air panas di kedua sisi dataran antara Palu - Kulawi.
Teluk Palu, Kota Palu, Toraja, wilayah Poso, Teluk Bone, atau Sulawesi Selatan dan Tenggara adalah beberapa wilayah yang sangat beresiko terkena dampak dari aktivitas Sesar Palu-Koro karena berada di wilayah sesar tersebut. Sayangnya, Sesar Palu-Koro di Sulawesi kurang banyak dibahas di media dibandingkan dengan Sesar Semangko di Sumatra, padahal Sesar Palu-Koro tepat membelah Kota Palu sebagai ibu kota Provinsi Sulawesi Tengah, sehingga jika terjadi gempa maka dampak sosial, budaya, politik, dan ekonominya akan berdampak besar. Ada tiga ibu kota di dunia yang dilalui sesar aktif, yaitu: Palu di Sulawesi, Wellington di New Zealand, dan San Francisco di California.
2.1.3 Aktivitas Sesar Palu-Koro
Gambar 2 Zona-zona sesar dan subduksi yang berada di Sulawesi
Bagi peneliti geologi, Pulau Sulawesi adalah keunikan bentang alam yang tersembunyi. Fakta ilmiah menyatakan proses geologi yang begitu rumit dan kompleks selama puluhan juta tahun telah membentuk Pulau Sulawesi menyerupai huruf K. Sekian puluh juta tahun silam, Sulawesi hanyalah berupa empat pulau mengapung. Namun, pulau itu terus bergerak dengan kecepatan 1 cm/tahun hingga akhirnya menjadi satu seperti sekarang.
Danny Hilman seorang ahli Geologi dari LIPI mengatakan Sesar Palu Koro dan Sesar Matano menyimpan energi guncangan gempa yang besar. “Rambatan gempa yang diakibatkan pergerakan Sesar Palu Koro dan Sesar Matano sudah berada di level tertinggi. Setara dengan akselerasi gravitasi 0,6 G. Kalau sudah 0,6 G levelnya sudah sangat parah,” kata Danny.
Dari data Pengukuran GPS metode episodik yang didapat dari situs web IAGI mengatakan sejak tahun 1997 hingga 2006, Sesar Palu Koro menunjukkan left lateral slip rate rata-rata sebesar 39 mm/tahun dengan kedalaman locking berkisar 12 – 16 km di bawah permukaan tanah. Hasil interpretasi strain serta rotasi yang diturunkan dari kecepatan GPS belum menunjukkan adanya perubahan perubahan energi yang signifikan pada sesar utama sampai dengan tahun 2006 untuk akibat aktivitas kegempaan di zona sekitar sejak gempa tahun 1998. Hal ini mengindikasikan sesar utama masih terkunci dan masih mengakumulasikan energi. Akumulasi energi yang ada saat ini diperkirakan dapat menyebabkan gempa sebesar 5,6 Mw apabila mengacu pada gempa 1998 atau gempa sebesar 6,6 Mw apabila mengacu pada gempa tahun 8/30/1938 (7,6 Mw). Kerusakan terparah yang diperkirakan terjadi akibat kedua gempa ini berada pada sisi bagian kiri sesar yaitu wilayah Lembah Palu.
Sejarah gempa bumi tektonik yang diakibatkan oleh aktivitas Sesar Palu-Koro seumur dengan awal mula terbentuk dan aktifnya sesar tersebut, ribuan tahun yang lalu. Beberapa yang sempat tercatat, yang menimbulkan bencana adalah Gempa Donggala 1927 menyebabkan sejumlah korban jiwa dan menimbulkan tsunami dengan tinggi gelombang 15 m yang menerjang pantai timur Teluk Palu, merubah daratan sekitar 200 m dari pantai termasuk di dalamnya kawasan pasar Mamboro menjadi dasar laut, Gempabumi Tambu atau Gempa Mapaga 1968, menimbulkan tsunami dengan tinggi gelombang sekitar 10 m, longsoran tanah, dan munculnya mata air panas di sepanjang pantai. Di Mapaga tercatat sekitar 790 rumah rusak dan mengakibatkan korban jiwa yang cukup besar; Gempa Lawe 1995, menimbulkan kerusakan lahan berupa retakan tanah, pelulukan, longsoran dan kerusakan rumah terjadi di Kulawi, Gimpu, Lawe dan Kantewu; Gempa Bumi Tonggolobibi 1996, menimbulkan tsunami dan merubah daratan di sekitar pantai menjadi dasar laut; dan masih banyak lagi gempa bumi tektonik yang pernah terjadi akibat aktivitas sesar Palu-Koro, misalnya Gempa Donggala 1938, Rano 1998, Donggala 1998, dan lain-lain, serta yang terakhir Gempa Bora.
Dengan pergerakan 39 mm/tahun, gempa yang terjadi di Palu tidak pernah berhenti hingga sekarang. Menurut rekaman seismograf pada Stasiun Geofisika Palu, hampir setiap hari sesar Palu-Koro menimbulkan beberapa kali gempa. Untunglah, bahwa sebagian besar dari gempa tersebut bermagnitudo kecil, yang getarannya hanya dapat dideteksi oleh seismograf.
2.2 Interpretasi Citra ASTER GDEM v2 Sulawesi Tengah
2.2.1 Pengertian Citra ASTER GDEM v2
ASTER GDEM v2 adalah singkatan dari Spaceborne Thermal Emission and Reflection Radiometer Global Digital Elevation Map Version 2 yang artinya emisi thermal spaceborn dan refleksi radiometer untuk peta digital ketinggian global versi kedua. Instrumen ASTER GDEM v2 ini diluncurkan dengan pesawat ruang angkasa NASA Terra pada bulan Desember 1999 yang memiliki kemampuan memperoleh data stereo menggunakan band spektral inframerah dekat. ASTER memiliki dua teleskop, satu untuk nadir-viewing dan backward-viewing, dengan dasar ketinggian rasio 0,6. Pada bidang horizontal resolusi spasial sebesar 15 m. Satu scene terdiri dari 4.100 sampel dengan 4.200 lines dengan luas area sekitar 60 km x 60 km.
Versi pertama GDEM ASTER, dirilis pada bulan Juni 2009, dihasilkan dengan menggunakan gambar stereo-pair yang dikumpulkan oleh instrumen ASTER onboard Terra. Cakupan ASTER GDEM terbentang dari 83 derajat lintang utara sampai 83 derajat di selatan, mencakup 99 persen daratan Bumi. Kemudian pada tanggal 17 Oktober 2011, Kementerian Ekonomi, Perdagangan, dan Industri (METI) Jepang dan Badan Penerbangan dan Antariksa Nasional Amerika Serikat (NASA) bersama-sama mengumumkan perilisan ASTER GDEM versi kedua.
Sebanyak 1.514.360 scene (produk level-1A) yang diperoleh dari bulan Maret 2000 sampai Agustus 2010 digunakan untuk menghasilkan GDEM ASTER versi 2.0. GDEM ASTER dibuat dari tumpang susun antara data yang tertutup awan dengan data yang tidak tertutup awan dan menggunakan algoritma statistik untuk menghapus data yang tidak normal. Namun, pendekatan statistik tidak selalu efektif untuk menghilangkan anomali di suatu daerah dengan sedikit data yang tertumpang susun. Beberapa Dem yang sudah ada digunakan sebagai referensi untuk memperbaiki sisa-sisa anomali yang disebabkan oleh terbatasnya jumlah data stacking.
GDEM V2 yang telah disempurnakan menambah 260.000 pasang stereo tambahan, meningkatkan cakupan dan mengurangi terjadinya artefak. Algoritma produksi yang disempurnakan memberikan perbaikan resolusi spasial, peningkatan ketepatan horisontal dan vertikal, dan cakupan deteksi badan air yang superior dengan tetap mempertahankan format GeoTIFF dan struktur gridding and tile yang sama dengan versi pertama, dengan postingan 30 meter dan ubin 1 x 1 derajat.
Versi 2 menunjukkan peningkatan yang signifikan dari rilis sebelumnya. Bahkan, NASA maupun METI / Japan Space Systems (J-spacesystems) akan bertanggung jawab atas kerusakan yang diakibatkan oleh adanya data yang mengandung anomali.
Secara umum keunggulan dari versi kedua ini berupa Resolusi lebih detail dari 110 meter (GDEM ASTER versi 1.0) ke 70 meter, Offset menurun dari -6 meter (GDEM ASTER versi 1.0) ke -0,7 meter, Voids di daerah utara berkurang Hampir sebagian besar , artifacts menghilang, dan Tubuh air/danau/waduk dianggap datar.
Kini GDEM tersedia untuk diunduh dari situs resminya yaitu NASA Reverb , LP DAAC Global Data Explorer , dan J-spacesystems ASTER GDEM. Produk ASTER ini tersedia tanpa biaya untuk setiap pengguna sesuai dengan kesepakatan antara METI dan NASA.
2.2.2 Hasil Citra ASTER GDEM Sulawesi Tengah
Berikut hasil citra ASTER GDEM v2 yang berhasil didapatkan menggunakan aplikasi Global Mapper 17 untuk mengunduh peta ASTER GDEM v2 Sesar Palu-Koro ini dari situs resminya asterweb.jpl.nasa.gov:
Gambar 3 Citra ASTER GDEM v2 Sesar Palu-Koro
2.2.3 Menginterpretasi Citra ASTER GDEM v2 Sulawesi Tengah mengenai Sesar Palu-Koro
Berdasarkan gambar dibawah, kita dapat melihat bahwa Kepualuan Sulawesi ini terutama Sulawesi Tengah memiliki ketinggian antara 0 hingga 2500 mdpl, terdapat beberapa daerah yang berwarna biru, namun itu bukan berarti air, namun daerah dengan ketinggian antara 0 hingga 500, karena daerah air memiliki struktur yang rata.
Gambar 4 Screenshoot Global Mapper 17 Sesar Palu-Koro
Dari gambar dapat kita interpretasikan bahwa Sesar Palu-Koro merupakan salah satu sesar sinistral(mengiri), hal itu terlihat dari beberapa patahan yang terpatahkan dan mengalami pergerakan mengiri seperti diilustrasikan pada gambar di bawah ini.
Gambar 5 Sesar Palu-Koro yang berjenis Sinistral
Gambar 6 Screenshoot Global Mapper 17 Kota Palu
Dari gambar diatas dapat kita lihat tanjung dan daratan yang berwarna biru bertekstur, itu merupakan citra dari Teluk Palu dan Kota Palu, kota tersebut berada tepat di patahan Sesar Palu-Koro. Terlihat di sebelah barat dan timurnya dibatasi oleh pegunungan. Pada pegunungan sebelah barat sangat terlihat pegunungannya dibatasi oleh patahan sesar, sehingga pada bekas patahannya membentuk triangular facet (aliran air pada pegunungan yang tersesarkan sehingga membentuk penampakan segitiga), dan kemudian di tepiannya terlihat daratan Alluvial fan(Daratan yang dihasilkan akibat penumpukan sedimen oleh aliran air pada daerah di kaki gunung).
Gambar 7 Screenshoot Global Mapper 17 daerah sekitar Sesar Palu-Koro 1
Dari gambar diatas kita dapat melihat pada sisi bagian Timur Sesar Palu-Koro tersebut terdapat tiga cekungan, jika pada suatu daerah terindikasi terdapat cekungan, maka daerah tersebut dapat diperkirakan merupakan pemukiman atau danau. Pada cekungan pertama, yaitu cekungan paling atas, terlihat bahwa cekungan tersebut berada juga di zona sesar lainya, kemungkinan perpanjangan zona sesar tersebut telah terpotong oleh Sesar Palu-Koro dan kini membuatnya terhubung dengan Kota Palu. Pada cekungan kedua, terlihat bahwa daerah tersebut memiliki bagian dengan tekstur yang rata, maka dapat diinterpretasikan bahwa daerah tersebut merupakan danau.
Gambar 8 Screenshoot Global Mapper 17 daerah sekitar Sesar Palu-Koro 2
Dari gambar diatas terlihat terdapat beberapa cekungan lainnya di sebelah Timur, mengindikasikan kemungkinan merupakan daerah pemukiman. Kemudian, di sebelah barat terlihat terdapat patahan lainnya.
2.3 Interpretasi Citra Google Earth
2.3.1 Pengertian Google Earth
Google Earth merupakan sebuah program globe virtual yang sebenarnya disebut Earth Viewer dan dibuat oleh Keyhole, Inc.. Program ini memetakan bumi dari superimposisi gambar yang dikumpulkan dari pemetaan satelit, fotografi udara dan globe GIS 3D. Tersedia dalam tiga lisensi berbeda: Google Earth yaitu versi gratis dengan kemampuan terbatas, Google Earth Plus yang memiliki fitur tambahan, dan Google Earth Pro yang digunakan untuk penggunaan komersial.
Daratan yang tercakup dalam Google Earth ditangkap melalui citra foto satelit dengan resolusi sekitar 15 m per piksel. Beberapa pusat masyarakat juga dicakup oleh pesawat terbang (ortofotografia) dengan beberapa piksel per meter. Sedangkan lautan dan beberapa pulau dicakup dengan resolusi paling rendah. Gambar-gambar tersebut disediakan oleh Terrametrics.
2.3.2 Interpretasi Citra Google Earth Sulawesi Tengah mengenai Daerah Pemukiman di Sekitar Sesar Palu-Koro
Dari aplikasi Google Earth didapat interpretasi citra sebagai berikut, terlihat pola sesar masih nampak, walaupun beberapa tertutup oleh vegetasi:
Gambar 9 Sesar Palu-Koro Google Earth View
Gambar 10 Kota Palu Google Earth View
Dari gambar diatas dapat terlihat Kota Palu memiliki pemukiman cukup padat, yang menerus ke arah selatan yaitu mengikuti perpanjangan lembah Palu, kemudian terdapat beberapa pemukiman di sekitar pemukiman di tepi sebelah Barat dan Timur Teluk Palu, yaitu memanjang di dataran alluvial fan yang memiliki ketinggian yang rendah dan datar. Walaupun Kota Palu berada di antara tanjung dan sesar, namun kemungkinan dari daerah ini terkena Tsunami sagat kecil, hal ini disebabkan karena jenis sesar ini yang mendatar berupa sinistral dan condong ke normal menyebabkan potensi dari terjadinya tsunami ini sangat kecil.
Gambar 11 Jembatan Palu IV Google Earth View
Dari gambar diatas terlihat bahwa Teluk Palu merupakan tempat bermuara dari Sungai Palu, terlihat terdapat delta pada bibir sungai tersebut.
Gambar 12 Sungai Palu Google Earth View
Sungai Palu memiliki bentuk Meander hingga Braided(menganyam), menandakan bahwa kota Palu memiliki morfologi yang rata sehingga pengendapan sedimennya sangat besar, dan apabila terjadi curah hujan yang tinggi maka Kota Palu kemungkinan besar dapat mengalami banjir. Sungai ini memanjang mengikuti Lembah Palu.
Gambar 13 Kabupaten Pontana Google Earth Map View
Dari gambar diatas terlihat cekungan yang sebelumnya kita lihat melalui citra ASTER GDEM v2 yang dihasilkan oleh patahan lainnya. Cekungan tersebut kini menjadi Kabupaten Pontianak. Terlihat kabupaten tersebut memiliki pemukiman yang tidak terlalu padat.
2.4 Kota Palu
2.4.1 Pengenalan Kota Palu
Palu adalah Ibukota Provinsi Sulawesi Tengah, Indonesia. Palu merupakan kota yang terletak di Sulawesi Tengah, berbatasan dengan Kabupaten Donggala di sebelah barat dan Utara, Kabupaten Sigi di sebelah selatan, dan Kabupaten Parigi Moutong di sebelah timur. Kota Palu merupakan kota lima dimensi yang terdiri atas lembah, lautan, sungai, pegunungan, dan teluk. Koordinatnya adalah 0,35 – 1,20 LU dan 120 – 122,90 BT. Kota Palu dilewati oleh garis Khatulistiwa. Penduduk Kota Palu berjumlah 342.754 jiwa (2012).
2.4.2 Sejarah Kota Palu
Kota Palu yang sekarang berada tepat di tengah-tengah pulau Sulawesi, pada awalnya merupakan peradaban orang-orang kaili yang mendiami Teluk Palu di pegunungan yang mengitari laut Kaili (saat itu kata Palu belum digunakan, karena lembah Palu masih berupa lautan) yang terdiri dari beberapa Kerajaan lokal. Suku Kaili juga terdiri dari beberapa sub etnis Kaili diantaranya Suku Sigi, Suku Biromaru, Suku Banawa, Suku Dolo, Suku Kulawi, Suku Banggakoro, Suku Bangga, Suku Pakuli, Suku Sibalaya, Suku Tavaili, Suku Parigi, Suku Kulavi dan masih banyak lagi sub etnis Kaili lainnya. Suku Kaili mendiami hampir seluruh seluruh Teluk Palu, Kab. Donggala, Kab. Sigi dan Kab. Parigimautong.
Asal usul nama kota Palu berasal dari kata Topalu'e yang artinya Tanah yang terangkat karena daerah ini awalnya lautan, terjadi gempa dan pergeseran lempeng (palu koro) sehingga daerah yang tadinya lautan tersebut terangkat dan membentuk daratan lembah yang sekarang menjadi Kota Palu.
Subur dan nyamannya lembah tersebut menggoda para masyarakat yang pada saat surutnya laut Kaili merupakan masyarakat pegunungan yang mengelilingi laut tersebut, maka terjadilah gelombang urban, baik dari barat lembah maupun dari timur lembah. Dari arah timur lembah terjadi dua gelombang yaitu:
gelombang pertama menempati daerah yang ditumbuhi ilalang (Biro) yang sekarang bernama Biromaru
gelombang kedua memecah diri menjadi dua, kelompok yang satu pun memilih Biromaru dan yang lainnya melanjutkan perjalanan menuju Palu
Gelombang urban ini kesemuanya berasal dari Raranggonau, sebuah daerah yang terletak di sebelah timur Paneki. Peristiwa urban ini memberikan teori lainnya mengenai asal usul penamaan palu ini. Saat terjadi urban, masyarakat menanam Avo mPalu di tepi sungai Palu (tidak diketahui dimana letak yang pasti). Avo mPalu adalah adalah salah satu jenis bambu yang bentuknya kecil (Avo mPalu = bambu kecil) yang tumbuh di Daerah Raranggonau dan seterusnya nama Palu ini digunakan. Pada arah barat lembah terjadi satu gelombang yang berasal dari bangga lalu kemudian menempati satu wilayah yang kini dikenal dengan nama Dolo.
Suku yang melakukan urban tersebut akhirnya mendirikan Kerajaan Palu, dengan Kota Palu sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Palu tersebut. Pada masa penjajahan Belanda, Kerajaan Palu menjadi bagian dari wilayah kekuasaan (Onder Afdeling Palu) yang terdiri dari tiga wilayah yaitu Landschap Palu yang mencakup distrik Palu Timur, Palu Tengah, dan Palu Barat; Landschap Kulawi; dan Landschap Sigi Dolo.
Pada tahun 1942, terjadi pengambilalihan kekuasaan dari Pemerintahan Belanda kepada pihak Jepang. Pada masa Perang Dunia II ini, kota Donggala yang kala itu merupakan ibukota Afdeling Donggala dihancurkan oleh pasukan Sekutu maupun Jepang. Hal ini mengakibatkan pusat pemerintahan dipindahkan ke kota Palu pada tahun 1950. Saat itu, kota Palu berkedudukan sebagai Kepala Pemerintahan Negeri (KPN) setingkat wedana dan menjadi wilayah daerah Sulawesi Tengah yang berpusat di Kabupaten Poso sesuai Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950. Kota Palu kemudian mulai berkembang setelah dibentuknya Residen Koordinator Sulawesi Tengah Tahun 1957 yang menempatkan Kota Palu sebagai Ibukota Karesidenan.
Setelah terbentuknya Provinsi Sulawesi Tengah berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1964, status Kota Palu sebagai ibukota ditingkatkan menjadi Ibukota Provinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah. Kemudian pada tahun 1978, Kota Palu ditetapkan sebagai kota administratif berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1978. Kini, berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1994 Kota Palu ditingkatkan statusnya menjadi Kotamadya Palu.
2.4.3 Letak Geografis Kota Palu
Kota Palu sebagai ibukota Provinsi Sulawesi Tengah terletak pada kawasan dataran lembah Palu dan teluk Palu. Wilayahnya terdiri dari lima dimensi yaitu wilayah pegunungan, lembah, sungai, teluk dan lautan. Secara astronomis, Kota Palu berada antara 0°,36”-0°,56” Lintang Selatan dan 119°,45” – 121°,1” Bujur Timur, sehingga tepat berada digaris Khatulistiwa dengan ketinggian 0-700 meter dari permukaan laut. Luas wilayah Kota Palu mencapai 395,06 kilometer persegi yang terbagi menjadi delapan kecamatan.
Batas-batas administrasi Kota Palu adalah sebagai berikut :
Utara : Kabupaten Donggala;
Selatan : Kabupaten Sigi;
Barat : Kabupaten Donggala;
Timur : Kabupaten Donggala dan Kabupaten Parigi Moutong.
Letak Kota Palu berbentuk memanjang dari timur ke barat terdiri dari dataran rendah, dataran bergelombang dan dataran tinggi. Berdasarkan topografinya, wilayah Kota Palu dapat dibagi menjadi 3 zona ketinggian yaitu:
Sebagian kawasan bagian barat sisi timur memanjang dari arah utara ke selatan, bagian timur ke arah utara dan bagian utara sisi barat memanjang dari utara ke selatan merupakan dataran rendah/pantai dengan ketinggian antara 0 – 100 m di atas permukaan laut.
Kawasan bagian barat sisi barat dan selatan, kawasan bagian timur ke arah selatan dan bagian utara ke arah timur dengan ketinggian antara 100 – 500 m di atas permukaan laut.
Kawasan pegunungan dengan ketinggian lebih dari 500 m di atas permukaan laut.
2.4.4 Pengaruh Aktivitas Sesar Palu-Koro terhadap Masyarakat Kota Palu dan Sekitarnya
Sesar Palu-Koro yang membelah Pulau Sulawesi tepat di Kota Palu memberikan banyak pengaruh besar yang telah berlangsung selama ribuan tahun. Sesar Palu-Koro telah menyebabkan pulau Sulawesi Terpatahkan dengan pergeseran mengiri, menyebabkan tersingkapnya suatu lembah yang kini menjadi Lembah Palu. Lembah Palu yang memberikan kenyamanan membuat lembah ini berkembang hingga akhirnya menjadi Ibukota Sulawesi Tenggara sekarang.
Salah satu dampak dari Sesar ini adalah ikut terpatahkannya sesar yang lainnya sehingga seperti yang kita lihat sebelumnya melalui citra ASTER GDEM v2 dan Google Earth, terdapat cekungan yang dilalui sesar dan kini terhubung dengan Kota Palu tersebut.
Perpatahan pada pegunungan yang berada di sebelah Barat dan Timur Teluk Palu menghasilkan dataran Alluvial fan yang kini juga menjadi daerah pemukiman oleh masyarakat Palu.
Perpatahan sesar tersebut juga menyebabkan terbentuknya lembah yang memanjang dari Lembah Koro, Lembah Palu, Teluk Palu, hingga laut lepas. Lembah tersebut menyebabkan mengalirnya Sungai Palu yang bermuara hingga Teluk Palu, yang kini menjadi sumber kehidupan masyarakat Palu.
Selama ribuan tahun, berbagai peradaban silih berganti mendiami wilayah Sulawesi Tengah. Provinsi Sulawesi Tengah terdiri dari 12 suku bangsa yaitu Kaili, Pomona, Saluan, Banggai, Pipikoro, Napu-Bada, Mori, Bungku, Tomimi, Toli-Toli, Buoi, dan Balantak. Setiap suku bangsa tersebut menyebar dan mendiami wilayah geografis yang berbeda seperti pesisir pantai, lembah dan dataran tinggi. Dari 12 suku bangsa tersebut 5 diantaranya terlintasi sesar aktif Palu Koro, yaitu suku bangsa Kaili, Pomona, Pipikoro, Napu-Bada, dan Toli-Toli. Keanekaragaman wilayah sebaran pemukiman mencirikan arsitektur rumah tradisional yang berbeda-beda menjadi identitas budaya dan jejak peradaban pada masa lalu. Miniatur bangunan rumah tradisional di pesisir pantai, lembah dan dataran tinggi berbeda-beda dan dapat dilihat di museum daerah.
Salah satu pengaruh besar lainnya adalah mengenai gempa yang berlangsung di zona patahan sesar ini. Selama ribuan tahun, masyarakat di sekitar Palu sudah mengenal apa itu gempa, hal ini tidak mengherankan karena gempa yang terjadi di Palu terus berlangsung tiap harinya, namun dengan ukuran yang tidak terlalu besar. Persepsi gempa diyakini oleh masyarakat tradisional ada dua, yaitu gempa kecil ditandai sebagai tanda leluhur akan datang dan tanda memperkuat tulang bumi, sedangkan gempa dengan kekuatan besar ditandai sebagai bentuk cobaan atau ujian dan sarana intropeksi diri, mitologi ini dibarengi dengan suatu ritual kepercayaan yaitu upacara adat Linu.
Upacara adat Lindu atau gempa bumi dilaksanakan sesudah terjadi gempa bumi, karena adanya kepercayaan bahwa penguasa tanah menjadi marah akibat perlakukan manusia yang tidak baik. Ritual yang dilakukan oleh suku Kulawi pada masa lampau merupakan pemujaan terhadap Karampua Ntana (penguasa tanah) dan Karampua Langi (penguasa langit), dengan tujuan memohon perlindungan dari malapetaka dan sebagai ucapan syukur atas perlindungan yang diberikan oleh dewa-dewa. Ritual tradisi ini masih dipelihara hingga saat ini terakhir gempa 2012, seluruh warga yang merasakan gempa khususnya Kulawi menggelar upacara adat Linu.
Potensi gempa yang terjadi juga mempengaruhi rumah adat yang dibangun oleh masyarakat Palu. Semua rumah tradisional merupakan rekonstruksi bangunan tahan gempa dan adaptasi dengan lingkungan alam yang ditempatinya. Namun, saat ini jarang ditemukan masyarakat yang masih mempertahankan rumah tradisional dan sebagian sudah menggantinya dengan konstruksi rumah gaya modern. Namun suku bangsa Kulawi masih mempertahankan tradisi budaya dan arsitektur tradisional yang disebut rumah adat Lobo.
Gambar 14 Rumah Adat Lobo
Persepsi lain yang berkembang selain gempa sebagai peristiwa alam yang mendatangkan bencana, bagi warga di sekitar Danau Lindu disyukuri sebagai berkah. Gempa dengan kekuatan M 6,2 SR pada 18 Agustus 2012, menggoncang kuat dan dekat pusat gempa, mendatangkan berkah karena akses jalan menjadi tersambung yang sebelumnya tidak dapat terakses karena masuk dalam kawasan Taman Nasional, sehingga setelah jalan dibangun perkembangan desa menjadi pesat, akses kendaraan beroda empat dapat melintas dan akses jaringan telekomunikasi.
Selain peristiwa gempa lokal yang dialami, peristiwa tsunami 2004 di Aceh juga membawa perubahan wawasan tentang kebencanaan bagi seluruh warga pesisir pantai di Indonesia, khususnya bagi Sulawesi Tengah. Karena Berselang 20 hari dari kejadian tsunami Aceh terjadi gempa yang cukup besar dengan kekuatan M 6,4 SR sebagian warga pesisir mengira gempa akan disusul tsunami seperti yang mereka saksikan tsunami Aceh melalui berita televisi.
Meski punya catatan gempa yang tak bisa dianggap kecil, memicu tsunami, bahkan dikenang dalam budaya lokal masyarakat secara turun temurun, tapi kenyataannya riset dan dokumentasi tentang Palu Koro minim jumlahnya. Palu Koro tak begitu banyak dikenal oleh masyarakat, Palu Koro hanya menjadi perbincangan kecil dalam diskusi dari rumah ke rumah, dari warung kopi ke warung kopi.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sesar Palu-Koro yang membelah Pulau Sulawesi tepat di Kota Palu memberikan banyak pengaruh besar yang telah berlangsung selama ribuan tahun. Sesar Palu-Koro telah menyebabkan pulau Sulawesi Terpatahkan dengan pergeseran mengiri, menyebabkan tersingkapnya suatu lembah yang kini menjadi Lembah Palu. Lembah Palu yang memberikan kenyamanan membuat lembah ini berkembang hingga akhirnya menjadi Ibukota Sulawesi Tenggara sekarang.
Salah satu dampak dari Sesar ini adalah ikut terpatahkannya sesar yang lainnya sehingga seperti yang kita lihat sebelumnya melalui citra ASTER GDEM v2 dan Google Earth, terdapat cekungan yang dilalui sesar dan kini terhubung dengan Kota Palu tersebut.
Perpatahan pada pegunungan yang berada di sebelah Barat dan Timur Teluk Palu menghasilkan daratan alluvial fan yang kini juga menjadi daerah pemukiman oleh masyarakat Palu.
Perpatahan sesar tersebut juga menyebabkan terbentuknya lembah yang memanjang dari Lembah Koro, Lembah Palu, Teluk Palu, hingga laut lepas. Lembah tersebut menyebabkan mengalirnya Sungai Palu yang bermuara hingga Teluk Palu, yang kini menjadi sumber kehidupan masyarakat Palu.
Salah satu pengaruh besar lainnya adalah mengenai gempa yang berlangsung di zona patahan sesar ini. Persepsi gempa diyakini oleh masyarakat tradisional ada dua, yaitu gempa kecil ditandai sebagai tanda leluhur akan datang dan tanda memperkuat tulang bumi, sedangkan gempa dengan kekuatan besar ditandai sebagai bentuk cobaan atau ujian dan sarana intropeksi diri, mitologi ini dibarengi dengan suatu ritual kepercayaan yaitu upacara adat Linu. Upacara adat Lindu atau gempa bumi dilaksanakan sesudah terjadi gempa bumi, karena adanya kepercayaan bahwa penguasa tanah menjadi marah akibat perlakukan manusia yang tidak baik. Ritual tradisi ini masih dipelihara hingga saat ini terakhir gempa 2012, seluruh warga yang merasakan gempa khususnya Kulawi menggelar upacara adat Linu.
Persepsi lain yang berkembang selain gempa sebagai peristiwa alam yang mendatangkan bencana, bagi warga di sekitar Danau Lindu disyukuri sebagai berkah.
Potensi gempa yang terjadi juga mempengaruhi rumah adat yang dibangun oleh masyarakat Palu. Semua rumah tradisional merupakan rekonstruksi bangunan tahan gempa dan adaptasi dengan lingkungan alam yang ditempatinya.
3.2 Saran
Sesar Palu Koro telah mempengaruhi masyarakat Palu selama beribu-ribu tahun dari berbagai aspek geografi, sosial, budaya, politik, ekonomi, sejarah, dan kepercayaan. Sesar Palu-Koro yang menjadi saksi bisu terjadinya perkembangan suatu peradaban dan morfologi merupakan suatu sumber ilmu pengetahuan yang akan terus mengalir bagi manusia yang haus akan kemajuan dan kemakmuran bangsanya.
Penulis berharap besar, akan semakin banyaknya hal yang terkuak dari Sesar Palu-Koro ini sehingga memberikan manfaat bagi kesejahteraan umat manusia kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA
Admin. 2017. Gempa Poso, Sesar Palu-Koro dan Warisan Peradaban Kuno Sulawesi Tengah. http://disasterchannel.co/2017/06/03/gempa-poso-sesar-palu-koro-dan-warisan-peradaban-kuno-sulawesi-tengah/. (Diakses terakhir pada tanggal 26 Desember 2017)
Rijal, Shulhan Syamsur. 2017. Ekspedisi Palu Koro (1): Mencari Jejak Patahan Besar di Atas Pulau Sulawesi. https://act.id/news/detail/ekspedisi-palu-koro-1-mencari-jejak-patahan-besar-di-atas-pulau-sulawesi. (Diakses terakhir pada tanggal 26 Desember 2017)
Admin. 2004. Pengumuman ASTER Global Digital Elevation Map. https://asterweb.jpl.nasa.gov/gdem.asp. (Diakses terakhir pada tanggal 26 Desember 2017)
Anonim. 2013. MEMPELAJARI POTENSI GEMPA BUMI DI SESAR PALU-KORO DENGAN MEMANFAATKAN TEKNOLOGI GLOBAL POSITIONING SYSTEM. http://www.iagi.or.id/paper/mempelajari-potensi-gempa-bumi-di-sesar-palu-koro-dengan-memanfaatkan-teknologi-global-positioning-system. (Diakses terakhir pada tanggal 26 Desember 2017)
Bakar, Abu. 2012. GDEM ASTER Versi 2.0 Download Free. http://www.citrasatelit.com/download-gdem-aster-versi-2-0/. (Diakses terakhir pada tanggal 26 Desember 2017)
Elfira, Tachta Citra. 2017. Luar Biasa! Menilik Terjadinya Sesar Palu-Koro, Gempa Terbesar yang Pernah Ada. https://techno.okezone.com/read/2017/08/04/56/1749635/luar-biasa-menilik-terjadinya-sesar-palu-koro-gempa-terbesar-yang-pernah-ada. (Diakses terakhir pada tanggal 26 Desember 2017)
Admin. 2017. Sejarah Kota Palu dan Suku Kaili. http://wisatapalu.com/sejarah-kota-palu-dan-suku-kaili. (Diakses terakhir pada tanggal 27 Desember 2017)
Admin. 2017. Letak Geografis. http://palukota.go.id/v2/letak-geografis/. (Diakses terakhir pada tanggal 27 Desember 20
Tidak ada komentar:
Posting Komentar